Rumah
tinggal orang Jawa menjadi lebih sempurna bentuknya dibandingkan pada
bentukan sebelumnya. Bentuk sebelumnya sangat sederhana seperti bentuk
bangunan “panggangpe”, “kampung” dan “limasan”. Bangunan yang lebih
sempurna secara structural adalah bangunan tradisional bentuk “Joglo”.
Bangunan ini secara umum mempunyai denah berbentuk bujur sangkar,
mempunyai empat buah tiang pokok ditengah peruangannya yang kita sebut
sebagai “saka guru’. Saka guru berfungsi untuk menopang blandar “tumpang
sari” yang bersusun keatas semakin keatas semakin melebar dan biasanya
berjumlah ganjil serta diukir. Ukiran pada tumpang sari ini menandakan
status sosial pemiliknya. Untuk mengunci struktur saka guru diberikan
“sunduk” yang disebut sebagai “koloran” atau “kendhit”. Letak koloran
ini terdapat di bawah tumpang sari yang berfungsi mengunci dan
menghubungkan ke empat “saka guru” menjadi satu kesatuan.Tumpang sari
berfungsi sebagai tumpuan kayu usuk untuk menahan struktur “brunjung dan
molo serta usuk yang memanjang sampai tiang “emper” bangunan Joglo.
Dalam perkembangannya. Bangunan Joglo ini memiliki banyak variasi
perubahan penambahan-penambahan struktur yang semakin mempercantik Rumah
adat ini.
Beberapa variasi bangunan “joglo” ini antara lain :
1. Rumah Adat tradisional Joglo limasan lawakan atau sering disebut “joglo lawakan”.
2. Rumah Adat tradisional Joglo Sinom
3. Rumah Adat tradisional Joglo Jompongan
4. Rumah Adat tradisional Joglo Pangrawit
5. Rumah Adat tradisional Joglo Mangkurat
6. Rumah Adat tradisional Joglo Hageng
7. Rumah Adat tradisional Joglo Semar Tinandhu
Membangun atap rumah joglo, yang kini digemari lagi, tidak boleh
sembarangan. Selain nilai filosofis yang terkandung, salah meletakkan
tiang bisa berakibat fatal pada konstruksinya.
Menurut Heinz Frick dalam buku Ilmu Konstruksi Bangunan jilid II,
arti dan fungsi konstruksi atap adalah sebagai pelindung manusia
terhadap cuaca, baik pelindung terhadap panas maupun hujan. Curah hujan
di Indonesia cukup besar, sehingga air hujan yang jatuh di permukaan
atap harus cepat disalurkan ke dalam tanah. Untuk itu dibutuhkan
kemiringan bidang atap yang cukup besar, yaitu 30o. Dengan
ini, diharapkan, air hujan dapat langsung dibuang dari permukaan atap
melalui talang horisontal. Talang ini terpasang di sepanjang bibir
permukaan bidang atap.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa bentuk atap bangunan
tradisional di Indonesia memiliki kemiringan yang cukup curam. Ini bisa
dibuktikan dengan berbagai bentuk atap berlapis rumbia atau sirap yang
berasal dari barat sampai timur Indonesia. Bentuk atap bangunan
tradisional tersebut rata-rata memiliki kemiringan sekitar 30o.
Contohnya adalah atap rumah joglo di Jawa, rumah gadang di Sumatera
Barat, rumah tradisional Betawi, sampai rumah beratap setengah lingkaran
suku Dani di pedalaman Papua. Sekarang banyak ditemui rumah-rumah
gadang beratap seng atau rumah Betawi beratap genteng. Meskipun penutup
permukaan atap dari seng, yang kemiringannya lebih fleksibel, tapi tetap
saja atap tradisional masih curam.
Konsep Joglo
Salah satu bentuk atap dari bangunan tradisional Indonesia adalah
joglo. Bangunan beratap joglo jenisnya sangat banyak, yang dibedakan
berdasarkan fungsi bangunan yang ada di bawahnya. Pada intinya, bentuk
bangunan yang beratap joglo memiliki karakteristik bentuk struktur atap
yang khas.
Pembangunan rumah tradisional joglo yang masih kental tradisinya,
berdasarkan filosofi bangunan joglo, harus menggunakan kayu jati. Kayu
jati ini juga harus sesuai dengan karakteristik tertentu yang ditentukan
menurut letak dan fungsi dari tiang-tiangnya. Contohnya, kayu jati yang
berasal dari pohon dengan cabang dua atau cabang tiga digunakan untuk
kolom atau tiang atau soko tertentu. Menurut kepercayaan, penggunaan
kayu yang sesuai dengan syarat akan dapat mendatangkan hal-hal yang
positif bagi penghuni nantinya.
Apapun bentuk pohonnya, ada satu pemahaman struktur yang harus
dipahami, yaitu tiang atau soko akan menyalurkan beban atap ke elemen
struktur lain untuk sampai ke dalam tanah. Karena alasan inilah soko
harus kokoh. Bayangkan saja, soko tersebut harus menyalurkan beban dari
rangka atap seperti genting, kasau atau usuk, dan gording.
Jenis Tiang (Soko)
Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada
bangunan tersebut. Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang
paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari
soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian
paling luar disebut soko emper.
Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan
beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya
menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di bawahnya.
Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong
atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.
Konstruksi Atap Joglo
Konstruksi rangka atap joglo terdiri dari beberapa tiang yang disebut
soko. Konstruksi atap joglo mutlak memiliki tiang-tiang yang dikenal
dengan nama soko guru. Tanpa soko guru, maka atap rumah tidak bisa
disebut sebagai atap joglo. Bila konstruksi atap joglo murni diterapkan
pada rumah tinggal, maka soko yang berfungsi sebagai penyokong atap
dengan kemiringan atap cukup curam tidak boleh dihilangkan.
Masing-masing jenis tiang tersebut menyokong atap yang memiliki
kemiringan yang berbeda-beda. Semakin ke arah keluar, kemiringan atap
akan semakin landai. Walaupun landai, tetapi kemiringan atap yang
tersebut harus dapat menyalurkan air dari permukaan bidang atap dengan
baik. Selain itu, harus diperhatikan juga dalam menentukan kemiringan
atap, bahwa atap dengan penutup atap genteng yang terlalu landai akan
mengakibatkan kebocoran.
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari
kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban
yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko
cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung,
yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh
masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban
atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul
oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang
disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan
tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh
soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Menerapkan Model Joglo
Sekarang ini konsep pembangunan atap joglo sulit diterapkan, karena
kayu yang dibutuhkan memiliki syarat-syarat tertentu dan cara
pembangunannya pun membutuhkan kesabaran yang tinggi. Sementara itu,
beberapa tiang yang disyaratkan konstruksi atap joglo, tidak dapat
dihilangkan karena memiliki nilai filosofi dan fungsi tertentu.
Filofosi atap joglo mengharuskan hadirnya soko sebagai kolom-kolom
pembagi ruang. Pembagian ruang menjadi tidak fleksibel karena adanya
tiang-tiang atau soko sebagai penyalur beban atap. Bila tetap ingin
menggunakan filosofi konstruksi atap joglo, pembagian ruang-ruangnya pun
harus mengikuti letak dari soko tersebut.
Kesulitan timbul apabila luasan ruang yang tercipta dari soko
tersebut lebih kecil dari kebutuhan penghuni. Cara memperluas ruang
misalnya dengan memundurkan dinding pembagi ruang sampai beberapa meter.
Namun, apa yang terjadi? Soko akan berada di tengah-tengah ruang.
Padahal, tidak nyaman jika tiang-tiang tersebut berada di tengah-tengah
ruang.
Selain itu, karena keterbatasan lahan, rumah jaman sekarang biasanya
memiliki dimensi lebih kecil dibandingkan rumah jaman dahulu.
Menempatkan tiang atau soko di tengah ruangan yang kecil jelas tidak
bijaksana.
Agar keinginan menerapkan konstruksi atap joglo masih dapat
dilaksanakan, maka sah saja apabila menggunakan model atap joglo tetapi
menggunakan konstruksi atap limasan. Ini salah satu alternatif agar
pembagian ruang masih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan penghuni,
tetapi masih dapat memakai atap model joglo.
(Rita Laksmitasari/www.tabloidrumah.com)
0 komentar:
Posting Komentar