Malam 1 Suro: Persatuan, Kesatuan, dan Tradisi
JAKARTA, KOMPAS.com – Perayaan malam 1 Suro yang
diadakan di depan Tugu Api, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Kamis
(17/12/2009) kemarin menyimbolkan persatuan, kesatuan, dan tradisi.
Malam 1 Suro diperingati dalam rangka menyambut Tahun Baru 1 Muharam
1431 H. Tahun Baru Muharam adalah perpaduan antara tahun baru Saka yang
disatukan dengan tahun baru hijriah sejak zaman Sultan Agung.
“Dengan demikian terjadi satu kesatuan, tidak adalagi perbedaan
antara orang-orang Jawa kuno dengan orang-orang Islam. Oleh sebab itu
pada perayaan malam 1 Suro ini sekaligus diadakan doa lintas agama,
dengan 6 agama serta para penganut ilmu kebatinan,” ucap Ketua Panitia
Peringatan Malam Tahun Baru Muharam 1431 H, Mas’ud Thoyib, Kamis
(17/12/2009) di TMII, Jakarta.
Doa dari enam agama dan kepercayaan secara bersama menandai
kerukunan beragama di Indonesia, dan sekaligus untuk memohon petunjuk
kepada Tuhan YME agar diberikan yang terbaik bagi Indonesia. Peringatan
malam 1 Suro sendiri menampilkan nilai-nilai simbolik antara lain
lewat Tumpeng Raksasa “Gunungan Baskara Nusantara” dan “Gunungan Candra
Nusantara”.
“Kedua gunungan ini menggambarakan adanya satu hasil bumi yang pada
zaman dahulu oleh raja Jawa dibuat satu bentuk yang disebut gunungan
dan itu diberikan kepada masyarakat luas. Konon siapapun yang
memperoleh kepingan yang terdapat dari gunungan tersebut akan punya
berkat, bermanfaat bagi hidup, dilancarkan rezekinya, enteng dalam
perjodohan, sukses dalam karier,” kata Mas’ud.
Gunungan ini sendiri, menurut Mas’ud, dibuat cukup lama yaitu satu
minggu. “Satu minggu karena aslinya dibuat di Keraton Surakarta, dan
tentunya seizin daripada engkang sinuwun, Pakubuwono ke 13,” kata
Mas’ud.
Acara ini diawali dengan persiapan Kirab di Tugu Api Pancasila.
Peserta kirab sendiri didukung oleh 2000 peserta, terdiri dari utusan
perwakilan 33 provinsi, 16 museum dan 51 unit di TMII, 50 kelompok
penghayat, 50 kelompok forum komunikasi paranormal, penyembuh
alternatif Indonesia, dan masyarakat umum.
Setelah kirab di depan tugu api kemudian dilanjutkan dengan mengarak
kedua gunungan, tumpeng-tumpeng yang jumlahnya ratusan buah, pusaka
Majapahit, Kutai, Mataram, Majapahit, serta dua kerbau Bule “Nyai
Welas” dan Nyai Asih yang berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat
keliling kompleks TMII. “Semoga tradisi ini, bisa diadakan dan
dilestarikan terus menerus tiap tahunnya. Semoga tradisi Suro pada
kemudian hari nantinya bisa menjadi bagian dari objek wisata juga,” ucap
Mas’ud.
Selain itu perayaan malam 1 Suro kemarin sekaligus dapat menjadi
oase spiritual di tengah Jakarta yang metropolitan. “Sudah jarang
masyarakat yang merayakan malam 1 Suro. Saya rasa tempat-tempat wisata
lainnya belum tentu memperingatinya seperti TMII,” ucap Mas’ud.
Di tengah kesuksesan acara ini, tersimpan sedikit kekecewaan dari
panitia. Karena menteri dari departemen yang terkait, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, tidak hadir dalam acara ini.
“Sebenarnya besar harapan kami agar Pak menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Jero Wacik, bisa hadir pada acara ini. Harusnya ini bisa
dianggap 100 hari gebrakan dibidang kepariwisataan,” kata Mas’ud
menutup pembicaraan.
0 komentar:
Posting Komentar