G 30S PKI tetap menjadi kontroversi.
Dan, hingga kini masih menjadi selubung hitam yang menyisakan tanda
tanya atas fakta-faktanya...
INDONESIA pernah diguncang tragedi yang sangat memilukan sejarah dan
catatan perjalanan bangsa. Para Jenderal dan Petinggi Angkatan Darat
saat itu dibunuh secara sadis dan tidak berperikemanusiaan. Dan, semua
itu terekam dalam film G 30S PKI yang menuai kontroversi. Dalam film
tersebut, betapa pembelokan sejarah terjadi demi kekuasaan.
Hingga akhir kekuasaan rezim Soeharto semua orang percaya bahwa
semua itu adalah perbuatan yang diotaki oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dan di pelajaran sejarah pun dicatatkan kronologi menurut
kepentingan penguasa saat itu. Namun, ketika orde reformasi dan
tumbangnya rezim orde baru sepeninggal Soeharto, dimana kebebasan
berbicara terbuka lebar, mulailah terkuak satu persatu kejanggalan
skenario sejarah yang selama ini dicatatkan.
Dalam buku Sejarah SMP kelas 3 kurikulum 1994 ditulis bahwa PKI yang
menjadi dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dimana peristiwa
itu mengingatkan kita bahwa PKI selalu berusaha mencari kesempatan
untuk melakukan kudeta (perebutan kekuasaan).
PKI menyadari bahhwa hambatan untuk mencapai tujuannya adalah TNI
AD. Oleh karena itu, pada tanggal 30 September 1965 sebelum subuh
tanggal 1 Oktober 1965 upaya penculikan dan pembunuhan terhadap para
perwira tinggi TNI AD dilancarkan.
Di buku tersebut juga dipaparkan bahwa penumpasan pemberontakan
G30S/PKI dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila.
Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan
Darat) mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kembali keadaan.
Pemaparan baru fakta dan opini di balik G30S/PKI itu pada intinya
menerangkan dan mengubah peran dan posisi Jendral Soeharto terhadap
G30S/PKI. Yakni, sebagai pemberantas yang cekatan dan jitu menjadi
terlibat atau tersangka. Tapi, benarkah? Hingga kini masih menjadi
'selubung' pekat yang sulit terpecahkan.
Nah, mau tahu apa aja fakta-fakta itu?
Namun Soeharto yang pada saat itu menjadi Panglima Kostrad tidak
mengambil inisiatif melapor kepada atasannya. Dia diam saja dan hanya
manggut-manggut mendengar laporan itu.
Fakta bahwa sebagai perwira tinggi dengan fungsi pemandu di bawah
Pangab Jenderal A. Yani, Soeharto tidak termasuk sasaran G30S/PKI. Ini
bisa dipertanyakan, mengingat strategisnya posisi Kostrad apabila
negara dalam keadaan bahaya. Jika betul Soeharto tidak berada dalam inner circle gerakan, kemungkinan besar ia termasuk dalam daftar korban yang dihabisi di malam tersebut.
Hubungan emosional yang amat dekat antara Soeharto dan para pelaku
PKI yakni Untung dan Latief. Sedangkan Sjam termasuk kolega Soeharto di
tahun-tahun sesudah Proklamasi.
Menurut penuturan Mayjen (Purn) Mursjid, 30 September malam
menjelang 1 Oktober 1965, pasukan Yon 530/Brawijaya berada di sekitar
Monas. Padahal tugas panggilan dari Pangkostrad Mayjen Soeharto adalah
untuk defile 5 Oktober.
Ratna Sari Dewi (mantan istri Bung Karno) pernah menyatakan: Sejak
pagi 1 Oktober, Soeharto sudah mempropaganda bahwa pelakunya PKI.
Sepertinya dia sudah tahu semua seakan telah direncanakan. Yang menjadi
pertanyaan, bagaimana ia bisa menguasai Indonesia? Harus diingat sistem
komunikasi saat itu belum seperti sekarang.
Teleponnya belum lancar dan tak ada yang punya telepon genggam.
Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30
September dan segera bertindak begitu cepat? Kalau memang belum tahu
rencana G30S/PKI, ia kemungkinan besar tidak akan bisa melakukannya!
Dari kutipan buku Sejarah SMP kelas 3 tersebut diatas dengan
pengakuan Ratna Sari Dewi kita dapat menarik kesimpulan bahwa Soeharto
sudah mengetahui akan terjadi gerakan 30 September yang dilakukan PKI.
Hal ini dibuktikan, mengapa begitu cepat dia mengambil keputusan dan
mengumumkan ke seluruh rakyat Indonesia melalui RRI. Bahwa, telah
terjadi peristiwa penculikan oleh gerakan kontra revolusioner yang
menamakan dirinya G30S. Padahal, alat komunikasi pada saat itu belum
secanggih sekarang.
************
Hal ini terbukti dengan adanya satu kompi batalyon 454 Diponegoro
Jawa Tengah dan satu kompi batalyon 530 Brawijaya Jawa Timur, yang
secara terselubung digunakan Soeharto sebagai penggerak.
Soeharto disebut-sebut terlibat dalam peristiwa tragis itu. Oleh
saksi dan sejumlah pelaku sejarah, serta sejarawan, dikatakan Soeharto
mengetahui rencana penculikan para jenderal. Tapi, tidak berusaha
mencegahnya. Itulah salah satu titik kontroversi yang dimuat dalam buku
44 Tahun G30S PKI, Antara Fakta dan Rekayasa yang terbit tahun 1999.
Pertama, siapa dalang gerakan 1 Oktober 1965?
Kedua, mengapa Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen
Pranoto Reksosamodro menghadap Presiden Soekarno untuk didaulat menjadi
Men/Pangad, jabatan yang ditinggalkan Letjen Ahmad Yani?
Ketiga, mengapa Soeharto seolah-olah mengulur waktu untuk merebut Gedung RRI dari tangan G30S? Keempat,
mengapa penggalian mayat para jenderal baru dilaksanakan pada 4 Oktober
1965, padahal lokasinya sudah diketahui pada 3 Oktober? Kelima, adakah konspirasi antara Letkol Untung Syamsuri (pemimpin lapangan), Kolonel Latief, Sjam Kamaruzzaman, dan Mayjen Soeharto?
Keenam, mengapa Ketua Partai Komunis Indonesia,
D.N. Aidit, dibunuh ketika dia tertangkap di Boyolali? Padahal
kesaksiannya di pengadilan akan sangat membantu untuk menyingkap tabir
G30S yang sebenarnya? Yang menarik pada buku ini adalah pengungkapan
pertemuan Kolonel Latief dan Soeharto di RSAD Gatot Soebroto beberapa
jam menjelang penculikan para jenderal.
“Tapi, ia tidak melaksanakannya berhubung kekhawatirannya melakukan
ditempat umum,” ujar Soeharto. Pengakuan Soeharto itu bertentangan
dengan jawaban yang diberikan kepada penulis bernama Brachman pada
tahun 1968, yang mengatakan bahwa Kolonel Latief datang untuk
menanyakan kesehatan anaknya.
“Saya terharu atas keprihatinannya,” kata Soeharto (hlm 18).
Sementara itu, Latief sendiri mengatakan: “Yang sebenarnya, saya pada
malam itu disamping memang menengok putranya yang sedang terkena
musibah itu, sekaligus saya melaporkan akan diadakannya gerakan pada
esok pagi harinya untuk menggagalkan Coup d'Etat dari Dewan Jenderal, dimana beliau sudah tahu sebelumnya.” (hlm 20).
Buku ini juga mengungkap kesaksian Boengkoes, yang muncul di media
massa setelah Soeharto lengser. Boengkoes adalah seorang sersan mayor,
pelaku langsung G30S. Saat gerakan berlangsung ia mendapat tugas
menangkap Mayjen MT Haryono. Kesaksian Boengkoes dalam buku ini
merupakan kompilasi dari wawancara sejumlah media massa, setelah
Boengkoes dibebaskan dari LP Cipinang pada 25 Maret 1999.
Salah satu poin kesaksiannya adalah bahwa para jenderal itu tidak
disiksa terlebih dahulu sebelum ditembak. Ini sangat berbeda dengan
yang digembar-gemborkan Orde Baru bahwa para jenderal itu digambarkan
dalam film disiksa bahkan dikatakan disayat-sayat. Apalagi penis
dipotong.
“Para jenderal itu dipapah sampai bibir sumur baru kemudian
ditembak,” ujarnya. Kesaksian Boengkoes kembali dipertegas, “dan tidak
benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi (seperti film tayangan TV).
“Suasana saat itu benar-benar sepi….” katanya. (berbagai sumber)
sumber:http://www.tnol.co.id/film-musik/9122-g-30s-pki-selubung-hitam-kebohongan-sejarah-.html
0 komentar:
Posting Komentar